Hari libur natal sudah dua hari yang lalu terlewati. Rupanya diskusi tentang kontroversi bolehkah mengucapkan selamat natal oleh seorang muslim masih saja menjadi topik hangat untuk dibahas dan dikomentari. Setidaknya ini saya jumpai di media sosial Facebook.
Yang sangat disayangkan terjadi akhir-akhir ini di kalangan umat Islam adalah makna toleransi yang menyimpang dari makna asalnya. Seolah-olah bahwa toleransi itu harus dengan ikut serta bergembira dengan sesuatu yang dirayakan teman kita, meski bertolak belakang dengan keyakinannya, atau paling tidak dengan bentuk ucapan selamat natal tadi. Beberapa orang menganggap bahwa itu hanya ucapan, bukan merayakan. Mereka lupa bahwa merayakan itu dapat diartikan sebagai perbuatan membesar-besarkan. Dan salah satu perbuatan membesar-besarkan itu adalah dengan menyebarkan ucapan selamat itu. Tengok saja hari ulang tahun yang sebenarnya biasa-biasa aja, akan menjadi besar maknanya bagi orang yang berulang tahun jika kita beri ucapan selamat. Beda dengan apabila kita diam saja.
Tentang toleransi beragama yang disalahartikan ini sudah pernah diungkapkan oleh Prof Buya Hamka dalam tulisan beliau yang berjudul “Bisakah Suatu Fatwa Dicabut“. Ada baiknya kita menyimak tulisan beliau tersebut. Tulisan itu beliau tutup dengan kalimat:
Rasa hati sanubari itu tidak dapat dijual dan tidak dapat dibeli. Apa yang terasa di hati, itulah yang dikeluarkan, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada barangsiapa yang patut dihormati. (HAMKA).
Bagi saya, cukuplah toleransi itu dengan membiarkan mereka yang beragama Kristen untuk merayakan Natal dan tidak mengganggu mereka, yang sebagian juga adalah teman-teman dekat saya sendiri. Saya tidak mengucapkan selamat natal bukan berarti saya tidak menghormati teman-teman saya yang beda akidah tersebut. Justru dengan saya diam (tidak mengucapkan selamat natal) dan tidak mengganggu itu lah wujud penghormatan saya pada ibadah mereka dan wujud penghormatan pada akidah yang saya yakini selama ini. Islam!
Semoga dengan ini kita tidak terjerumus pada kemunafikan sebagaimana kekhawatiran yang tersirat oleh Buya Hamka di tahun 80-an silam dalam tulisannya. Semoga bermanfaat!
Disadur dari blog pribadi noor-ridhwan.blogspot.com, Desember tahun 2012